Sabtu, 18 Januari 2014

ADA SAATNYA



“Semua tak adil. Aku kecewa dengan semua ini. Mengapa Kau bedakan aku dengan mereka? Aku bisa seperti mereka, akan aku usahakan. Tapi bagaimana? Kau saja tak mengganggapku ada. Mengapaaa?”
Tangisku dan jeritan hati tadi yang mengantarku terlelap malam ini. Malam yang terasa sunyi, sama seperti sunyinya pikiranku. Dinding-dinding yang dingin, sama dinginnya dengan hatiku. Dan hembusan angin –Mu yang menusuk jiwa rapuhku karena kekecewaan yang setiap hari kurasakan. Berlarut-larut.
Alunan azdan di hawa embun dan teriakan ayam-ayam yang berusaha membangunkan setiap orang yang ada, memaksaku untuk membuka indera lihatku. Setelah itu, akupun harus menjalankan kewajibanku walau mata ini masih terasa lengket karena menangis semalam. Mulanya semua kumulai dengan biasa saja. Tapi sejak adanya rutinitas ini, semua berbeda. Pulang petang, belajar sebentar, lalu tidur dan biasanya selalu diiringi dengan tangisan karena kekecewaan dan penyesalan. Rutinitas itu telah merenggut waktuku, menyita tenagaku, dan mengganggu belajarku.
Kujalani semua itu untuk sebuah kegiatan pelatihan seseorang yang mewajibkan membohongi orang lain di atas panggug tanpa orang itu merasa rugi atau terganggu karena telah dibohongi. Bahkan menikmati kebohongan yang ada. Mereka pun rela bila harus mengorbankan sedikit uangnya untuk melihat sebuah kebohongan yang dasarnya kuat. Kebohongan pementasan.
Menguji kemampuan setiap anak didik memang tak mudah. Mungkin untuk memudahkan hal itu, mereka langsung pilih saja dari fisik tubuhnya. Yang cantik akan menjadi puterinya. Yang tampan akan menjadi puteranya. Dan yang tak cantik atau tak tampan akan menjadi budaknya.
“Pikiran apa itu? Kau diajarkan untuk berbaik sangka kepada setiap orang. Berpikir positif sajalah!”
Penolakan keras dari hati kecilku untuk mencegahku berbuat dosa karena berburuk sagka kepada mereka. Kucoba untuk tetap sabar dan ikhlas dalam semua ini. Walau telah berkali-kali terjadi. Menurut lainnya, pilih kasih.
Tahun lalu, pementasan pertama sejak pertama aku masuk sekolah ini. Pentas Mandiri yang setiap tahun diadakan. Waktu itu, casting pertama gagal. Hmm... bukan gagal, tapi lebih tepatnya aku tak diberi kesempatan. Entah mengapa, mungki selalu begitu. Berperan dalam sebuah pementasan dengan duduk bersama sekelompok orang di sudut layar dan mengiringi penampilan teman yang sedang berbohong dalam pementasan untuk menghibur. Terjadi berulang kali dan tak ada yang berkembang dari semua ini. Bakat untuk menjadi pembohong dalam pementasan. Sebuah pementasan yang selalu aku impikan, yaitu aku ada dalam pementasan itu. Bermain di dalamnya.
Sejak awal kedua orang tuaku memang tak menyetujui aku melakukan aktifitas ini. Tapi kuterus paksa mereka untuk menyetujuinya karena aku merasa jiwaku ada di sini, jiwaku saja. Mungkin belum sepenuhnya, dan ragaku yang teracuhkan. Benar, Setiap kali latihan inilah yang aku rasakan. Diacuhkan. Aku seperti angin yang hanya berhembus disamping mereka. Terasa ada, tapi tak ada. Banyak juga yang senasib denganku, tapi mereka semua sudah pergi saat pementasan pertama itu selesai. Mereka mungkin tak kembali. Mereka tak urusi lagi dunia ini. Seleksi alam sebutannya. Tapi ada apa denganku? Saat aku juga ingin meninggalkan semua ini, aku merasa berat sekali. Aku masih ingin disini. Aku menemukan aku yang sebenarnya di sini. Meskipun kutahu semua di sini mengacuhkanku, semua ini merugikanku. Tapi akan kucoba bertahan dan berfikir positif. Karena dengan usaha ikhlasku ini, akan ada hasil yang indah di sana dan aku percaya itu.
Hampir 20 bulan aku bisa bertahan. Banyak sekali hal yang mulai kumengerti dan yang mulai kusadari. Aku di sini tidaklah seorang diri, mereka adalah keluargaku saat ini. Begitu banyak pengalaman sekaligus ilmu berharga yang aku dapat di sini. Mereka semua membantuku, memotifasiku, dan mengajariku untuk terus maju. Mengapa aku mulai sadar sekarang?  Pernyataanku dulu salah, dan aku bertekad akan tetap di sini. Sebagai jiwa yang haus ilmu kebohongan pementasan.
Disuatu waktu, terdengar kabar akan diadakannya lomba antar sekolah. Awalnya kami di sini memilih untuk tidak mengikutinya, tapi dengan banyak pertimbangan dan dorongan para pelatih, kami pun akhirnya mengikut. Awalnya untuk berpartisipasi saja, tapi niat awal itu berubah menjadi sebuah keinginan untuk menunjukkan bakat pembohong dalam pementasan kami dengan cara menampilkan yang terbaik. Yang terbaik seperti dulunya tanpa ada ego.
Casting lagi. Aktor, aktris, naskah, ekspresi, kemampuan suara, dan lain hubungannya seakan tak mau ku raih. Aku merasa masih sangat minim tentang itu, aku masih haus ilmu itu, dan aku masih ingin belajar untuk hal itu. Semua berawal. Teks drama “Calon Arang” sudah kupegang sekarang. Judul yang mengesankan, tapi sedikit memekakkan telinga setelah mendengar nama itu. Seorang dukun sakti yang meresahkan masyarakat dan puterinya yang sampai saat ini tak ada yang melamar karena profesi ibunya. Sedikit yang kutahu tentang si “Calon” itu. Kembali ke casting. Hatiku kali ini berdegup kencang saat disuruh untuk mencoba beberapa baris dialog. Saat itu, mungkin detik terakhir kesempatanku, karena mungkin setelah ini tak akan ku jalani rutinitas ini. Ujian Kenaikan Kelas dan Ujian Nasional tahun depan sudah di depan mata. Aku ingin fokus dan tidak memikirkan tentang dunia pembohong pementasan ini lagi. Karena sudah cukup batas kemampuanku saat ini, pikirku saat itu.
Tapi apa yang terjadi? Mencengangkan, aku dipilih menjalani amanat ini. Memegang sebuah peran penting dalam suatu drama. Rasa syukur dalam hatipun turut mengiringi senyum bahagia yang terus kulukiskan di petang nan indah ini. Mungkin awalnya semua yang tak mengenal dunia ini tak tahu rasanya bagaimana mendapat sebuah peran pertama sekaligus utama dalam satu waktu kejadian. Menakjubkan.
Setelah semua itu terlalui, aku berjanji akan berusaha semampuku untuk tak mengecewakan orang-orang disekitarku yang telah mempercayaiku untuk berperan penting dalam kebohongan pementasan ini. Kebohongan pementasan yang dulu aku impikan, dan sekarang aku ada di dalamnya. Aku bersama teman pembohong pementasan lainnya pun terus berusaha keras dan berlatih dengan disiplin untuk tanggung jawab ini. Sebuah nama sekolah yang akan dipertaruhkan di kota nanti.
Hingga tiba saatnya. Semua terasa begitu cepat. Aku belum merasakan panasnya panggung hari ini, aku belum merasakan aura para tokoh di sini. Dan tiba-tiba saja pementasan kebohongan itu selesai. Ya… benar-benar selesai. Kami sudah menunjukan kemampuan kami menit tadi. Dan sekarang, tanpa sengaja butiran bening ini menyadarkanku. Menyadarkan bahwa dengan tak terasanya waktu saat menunjukan kebohongan itu berarti pentas ini berhasil dan akhirnya kami dapat meraih piala itu lagi. Piala yang memang setiap tahunnya selalu sekolah kami yang mendapatkan. Tapi tidak dengan kekhawatiran awalku. Aku takut mengecewakan mereka. Tapi sekarang aku dan para pembohong pementasan lainnya berhasil membanggakannya.
Semua ini tak terhenti di sini. Dengan piala itu, artinya ada lagi pertarungann yang lebih besar. Pertaruhan nama besar kita, sekolah kita, dan kota kita. Para pembohong profesional dari setiap unggulan di daerah mereka siap menantang kami di propinsi nanti. Pertarungan sesunggungnya dengan banyak perubahan besar dalam pementasannya. Perubahan yang berarti.
Semua begitu cepat seperti sebelumnya. Sukses. Dan benar sekali, usaha kita, waktu kita, dan semuanya yang telah dipertaruhkan terbayar. Piala yang lebih besar sudah ada digenggaman. Menakjubkan.
Semuaanya tak ada jika seandainya aku menyerah dari awal, jika aku berhenti di tengah jalan yang menghubungkanku dengan semua ini, jika aku tak bertemu mereka, jika aku tak mau berusaha, dan memang indah. Semua ada saatnya, saat kita diberi cobaan untuk menerima apa yang telah kita miliki, saat kita diuji untuk sebuah kesuksesan yang mengiringi. Kini semua merasakan kebahagiaan yang sama denganku. Dan tentu masih banyak kebahagiaan lainnya. Untuk sekolah tercintaku SMPN 1 Mojoagung, kota teristimewa Jombang, dan aku bangga  dengan dunia pembohong pementasanku, dunia Teaterku, “Teater Wadtera”.
TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar