“Semua tak adil. Aku kecewa dengan semua ini. Mengapa Kau bedakan aku dengan mereka?
Aku bisa seperti mereka, akan aku usahakan. Tapi bagaimana? Kau saja tak
mengganggapku ada. Mengapaaa?”
Tangisku dan jeritan hati tadi
yang mengantarku
terlelap malam ini. Malam yang terasa sunyi, sama seperti sunyinya pikiranku. Dinding-dinding yang dingin, sama dinginnya dengan hatiku. Dan hembusan
angin –Mu yang menusuk jiwa rapuhku karena kekecewaan yang setiap hari kurasakan.
Berlarut-larut.
Alunan azdan di hawa embun dan
teriakan ayam-ayam yang berusaha membangunkan setiap orang yang ada, memaksaku untuk membuka indera lihatku. Setelah itu, akupun
harus menjalankan kewajibanku walau mata ini masih terasa lengket karena
menangis semalam. Mulanya semua kumulai dengan biasa saja. Tapi sejak adanya
rutinitas ini, semua berbeda. Pulang petang, belajar sebentar, lalu tidur dan
biasanya selalu diiringi dengan tangisan karena kekecewaan dan penyesalan. Rutinitas itu
telah merenggut waktuku, menyita tenagaku, dan mengganggu belajarku.
Kujalani semua itu untuk sebuah
kegiatan
pelatihan seseorang yang mewajibkan membohongi orang lain
di atas panggug tanpa orang itu merasa rugi atau terganggu karena telah
dibohongi. Bahkan menikmati kebohongan yang ada. Mereka pun rela bila harus
mengorbankan sedikit uangnya untuk melihat sebuah kebohongan yang dasarnya kuat.
Kebohongan pementasan.
Menguji kemampuan setiap anak
didik memang tak mudah. Mungkin untuk memudahkan hal itu, mereka langsung pilih
saja dari fisik tubuhnya. Yang cantik akan menjadi puterinya. Yang tampan akan
menjadi puteranya. Dan yang tak cantik atau tak tampan akan menjadi budaknya.
“Pikiran apa itu? Kau diajarkan untuk berbaik sangka kepada setiap orang.
Berpikir positif sajalah!”
Penolakan keras dari hati
kecilku untuk mencegahku berbuat dosa karena berburuk sagka kepada mereka.
Kucoba untuk tetap sabar dan ikhlas dalam semua ini. Walau telah berkali-kali
terjadi. Menurut lainnya, pilih kasih.
Tahun lalu, pementasan pertama
sejak pertama aku masuk sekolah ini. Pentas Mandiri yang setiap tahun diadakan.
Waktu itu, casting pertama gagal. Hmm... bukan gagal, tapi lebih
tepatnya aku tak diberi
kesempatan. Entah mengapa, mungki selalu begitu. Berperan dalam sebuah
pementasan dengan duduk bersama sekelompok orang di sudut layar dan mengiringi
penampilan teman yang sedang berbohong dalam pementasan untuk menghibur. Terjadi berulang kali dan tak ada yang
berkembang dari semua ini. Bakat untuk menjadi pembohong dalam pementasan.
Sebuah pementasan yang selalu aku impikan, yaitu aku ada dalam pementasan itu.
Bermain di dalamnya.
Sejak awal kedua orang tuaku memang
tak menyetujui aku melakukan aktifitas ini. Tapi kuterus paksa mereka untuk menyetujuinya karena aku merasa jiwaku ada di sini, jiwaku saja.
Mungkin belum sepenuhnya, dan ragaku yang teracuhkan. Benar, Setiap kali latihan
inilah yang aku rasakan. Diacuhkan. Aku seperti angin yang hanya berhembus
disamping mereka. Terasa ada, tapi tak ada. Banyak juga yang senasib denganku,
tapi mereka semua sudah pergi saat pementasan pertama itu selesai. Mereka
mungkin tak kembali. Mereka tak urusi lagi dunia ini. Seleksi alam sebutannya.
Tapi ada apa denganku? Saat aku juga ingin meninggalkan semua ini, aku merasa
berat sekali. Aku masih ingin disini. Aku menemukan aku yang
sebenarnya di sini. Meskipun
kutahu semua di sini mengacuhkanku, semua ini merugikanku. Tapi akan kucoba bertahan dan
berfikir positif. Karena dengan usaha ikhlasku ini, akan ada hasil yang indah di sana dan aku percaya itu.
Hampir
20 bulan aku bisa bertahan. Banyak sekali hal yang mulai kumengerti dan yang
mulai kusadari. Aku di sini tidaklah seorang diri, mereka adalah keluargaku
saat ini. Begitu banyak pengalaman sekaligus ilmu berharga yang aku dapat di
sini. Mereka semua membantuku, memotifasiku, dan mengajariku untuk terus maju.
Mengapa aku mulai sadar sekarang? Pernyataanku dulu salah, dan aku bertekad akan
tetap di sini. Sebagai jiwa yang haus ilmu kebohongan pementasan.
Disuatu
waktu, terdengar kabar akan diadakannya lomba antar sekolah. Awalnya kami di
sini memilih untuk tidak mengikutinya, tapi dengan banyak pertimbangan dan
dorongan para pelatih, kami pun akhirnya mengikut. Awalnya untuk berpartisipasi
saja, tapi niat awal itu berubah menjadi sebuah keinginan untuk menunjukkan
bakat pembohong dalam pementasan kami dengan cara menampilkan yang terbaik.
Yang terbaik seperti dulunya tanpa ada ego.
Casting
lagi. Aktor, aktris, naskah, ekspresi, kemampuan suara, dan lain hubungannya
seakan tak mau ku raih. Aku merasa masih sangat minim tentang itu, aku masih
haus ilmu itu, dan aku masih ingin belajar untuk hal itu. Semua berawal. Teks
drama “Calon Arang” sudah kupegang sekarang. Judul yang mengesankan, tapi
sedikit memekakkan telinga setelah mendengar nama itu. Seorang dukun sakti yang
meresahkan masyarakat dan puterinya yang sampai saat ini tak ada yang melamar
karena profesi ibunya. Sedikit yang kutahu tentang si “Calon” itu. Kembali ke
casting. Hatiku kali ini berdegup kencang saat disuruh untuk mencoba beberapa
baris dialog. Saat itu, mungkin detik terakhir kesempatanku, karena mungkin
setelah ini tak akan ku jalani rutinitas ini. Ujian Kenaikan Kelas dan Ujian
Nasional tahun depan sudah di depan mata. Aku ingin fokus dan tidak memikirkan
tentang dunia pembohong pementasan ini lagi. Karena sudah cukup batas
kemampuanku saat ini, pikirku saat itu.
Tapi
apa yang terjadi? Mencengangkan, aku dipilih menjalani amanat ini. Memegang
sebuah peran penting dalam suatu drama. Rasa syukur dalam hatipun turut
mengiringi senyum bahagia yang terus kulukiskan di petang nan indah ini.
Mungkin awalnya semua yang tak mengenal dunia ini tak tahu rasanya bagaimana
mendapat sebuah peran pertama sekaligus utama dalam satu waktu kejadian.
Menakjubkan.
Setelah
semua itu terlalui, aku berjanji akan berusaha semampuku untuk tak mengecewakan
orang-orang disekitarku yang telah mempercayaiku untuk berperan penting dalam
kebohongan pementasan ini. Kebohongan pementasan yang dulu aku impikan, dan sekarang
aku ada di dalamnya. Aku bersama teman pembohong pementasan lainnya pun terus
berusaha keras dan berlatih dengan disiplin untuk tanggung jawab ini. Sebuah
nama sekolah yang akan dipertaruhkan di kota nanti.
Hingga
tiba saatnya. Semua terasa begitu cepat. Aku belum merasakan panasnya panggung
hari ini, aku belum merasakan aura para tokoh di sini. Dan tiba-tiba saja
pementasan kebohongan itu selesai. Ya… benar-benar selesai. Kami sudah
menunjukan kemampuan kami menit tadi. Dan sekarang, tanpa sengaja butiran
bening ini menyadarkanku. Menyadarkan bahwa dengan tak terasanya waktu saat
menunjukan kebohongan itu berarti pentas ini berhasil dan akhirnya kami dapat
meraih piala itu lagi. Piala yang memang setiap tahunnya selalu sekolah kami
yang mendapatkan. Tapi tidak dengan kekhawatiran awalku. Aku takut mengecewakan
mereka. Tapi sekarang aku dan para pembohong pementasan lainnya berhasil
membanggakannya.
Semua
ini tak terhenti di sini. Dengan piala itu, artinya ada lagi pertarungann yang
lebih besar. Pertaruhan nama besar kita, sekolah kita, dan kota kita. Para
pembohong profesional dari setiap unggulan di daerah mereka siap menantang kami
di propinsi nanti. Pertarungan sesunggungnya dengan banyak perubahan besar
dalam pementasannya. Perubahan yang berarti.
Semua
begitu cepat seperti sebelumnya. Sukses. Dan benar sekali, usaha kita, waktu
kita, dan semuanya yang telah dipertaruhkan terbayar. Piala yang lebih besar
sudah ada digenggaman. Menakjubkan.
Semuaanya
tak ada jika seandainya aku menyerah dari awal, jika aku berhenti di tengah
jalan yang menghubungkanku dengan semua ini, jika aku tak bertemu mereka, jika
aku tak mau berusaha, dan memang indah. Semua ada saatnya, saat kita diberi
cobaan untuk menerima apa yang telah kita miliki, saat kita diuji untuk sebuah
kesuksesan yang mengiringi. Kini semua merasakan kebahagiaan yang sama
denganku. Dan tentu masih banyak kebahagiaan lainnya. Untuk sekolah tercintaku
SMPN 1 Mojoagung, kota teristimewa Jombang, dan aku bangga dengan dunia pembohong pementasanku, dunia
Teaterku, “Teater Wadtera”.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar