Kak
Yuni :”Kamu itu selalu deh. Fisikmu
itu lhoo dek, sadar nggak sih? Mereka nggak pernah mengganggapmu, tapi kamu kok
masih mau bergaul dengan mereka. Keluar aja deh, daripada nanti nyesel.” (serbuan
opini dari kak Yuni saat aku baru saja pulang latihan petang ini)
Aku :”Apaan sih.. baru pulang juga.
Dan tentang hal itu, dengar ya kak, aku melangkah sudah jauh dan tak mungkin
aku ulangi lagi dari awal lagi. Sudah kujalani kok, dan aku enjoy dengan ini.” (balasku)
Kak
Yuni :”Kamu kalo’ diberi masukan
selalu itu jawabnmu. Padahal biasanya kan nagis soalnya jadi kacang tiap hari.”
Aku :”Itu kan dulu kak, sekarang
aku kan sudah bisa bergaul dengan mereka. Aku bisa bersosialisasi baik. Walau
aku masih belum bisa sepenuhnya terbuka pada siapa saja seperti yang lainnya”
Kak
Yuni :”Terserah deh maumu apa, tapi
kalo’ nyesel terus nangis awas saja.”
Aku : (hanya diam sambil memikirkan ucapan Kak Yuni tadi)
Semua
orang di sini memang tak ada yang sepenuhnya mendukung kegiatan berteaterku.
Dan alasannya cukup logis, yaitu mereka tidak ingin jika belajarku terganggu
karena ini. Sempat ku berfikir untuk meninggalkannya saja. Tapi terasa begitu
berat bagiku, karena aku merasa jiwaku ada di sini, teater ini. Untuk jiwa
pembohong pementasan.
Ayah :”Sekarang biarlah dia menikmati
dunia bersama teaternya itu. Tapi setelah pentas itu, tak ada lagi teater-teateran. Keluar
dari situ! (serangan ayah dengan
tiba-tiba untukku)
Aku : (deggg… bagai kilat di langit yang menyambar di dalam dada) “Waa...
walau nanti hasilnya memuaskan yah?” (nada
suara yang kurendahkan)
Ibu :”Yaa, pokoknya berhenti. Iya
kan yah? Soalnya yang begituan itu kurang bermanfaat. Terus uang jajnmu selalu
nambah lagi kalau pulang sore terus (sahut
ibuku)
Ayah :”Hmm... benar itu ibumu. Kamu
kan sudah mau ulangan kenaikan kelas dan sebentar lagi kelas Sembilan. Kamu
sudah tau itu kan.”
Aku :”Iya yah… akan kulanjutkan
sampai pentas itu saja. Tapi…”
Kak
Yuni :”Nggak usah tapi-tapian deh…
kamu itu bikin kesel orang tua aja.” (sahut
kak Yuni tiba-tiba)
Setelah
itu, langsung saja aku berjalan cepat ke kamar dengan bendungan air mata yang
sudah penuh dan akan tumpah ini.
Aku :”Kenapa sih kok nggak ada yang
setuju. Padahal kan sudah ku korbankan semuanya sampai sejauh ini. Dan mereka
nggak pernah tau, bagaimana mimpiku untuk menjadi seorang pembohong pementasan,
mimpi yang baru terwujud. Tapi tanpa ada restu yang pasti sekarang. Huuu… huu… (tangis pelanku dalam kamar)
Kak
Yuni :”Yaa… itu karena kamulah yang
saat ini diandalkan untuk menggapai ilmu akademikmu itu. Supaya nanti bisa buat
orang tuamu senang.” (Kak Yuni yang
tiba-tiba muncul di dalam kamarku)
Aku :”Lhoo… kok ada di sini? Siapa
yang suruh masuk?” (sahutku sambil
mengusap sisa air mata)
Kak
Yuni :”Itu karena disuruh ibumu
untuk menemanimu. Semuanya sudah tahu lagi kalau kamu ini biasanya nangis kalau
sedang dalam keadaan seperti ini.”(penjelasan
Kak Yuni)
Aku :”Ya sudah…sekarang biar aku
mandi dulu dan jangan lupa tutup pintu kalo’ keluar ya” (balasku dengan sedikit malu)
Memang
aku terlalu sering menangis. Tapi tangisanku itu untuk hal yang jelas dan
nyata, tidak seperti anak ABG lain yang biasanya menangis karena pacarnya
misal. Dan aku tak terlalu memikirkan itu.
Setelah
kejadian tersebut masih kujalani proses demi proses latihan seperti biasanya.
Yang mungkin proses ini proses terakhir untukku. Setelah ini ku tekadkan untuk
lebih fokus ke Ujian Nasional kelas Sembilan yang sudah di depan mata. Hmm… benar Ujian
Kenaikan Kelas sudah terlewati. Ujian terberat yang pernah aku jalani.
Bagaimana tidak, pagi sampai sore harus selalu berada di sekolah untuk ujian
setelah itu langsung latihan. Melelahkan.
Aku :”Kak... besok aku mau
berangkat ke Surabaya.” (ceritaku saat di
kamar bersama kak Yuni)
Kak
Yuni :”Yaa… aku sudah tau. Dan
mungkin ini terakhir kalinya aku bertemu kamu.” (nada suara Kak Yuni yang datar)
Aku :”Maksudnya?” (tanyaku dengan sedikit bingung)
Kak
Yuni :”Besok bersamaan kamu ke
Surabaya, aku juga harus pergi ke Kalimantan. Sekolah di sana dan bertemu
ibuku, kamu kan tau sudah hampir 6 bulan ini aku nggak bertemu ibuku. Rencana
awalku dari dulu kan gini, setelah lulus SMP di sini, mau SMA ke Kalimantan.” (penjelasan Kak Yuni)
Aku :”Ohhh… gitu, ya sudah malam ini
kita habiskan waktu bersama yaa… untuk terakhir kali. Dan aku minta maaf sama
kakak kalo’ sering buat salah.”
Kak
Yuni : (hanya tersenyum padaku)
Hari
yang ditentukan tiba, Kak Yuni sudah terbang ke Kalimantan, teman baik sejak
kecilku kini sudah pergi dengan rasa kecewa padaku yang mungkin masih ada. Dan
sekarang pertarungan sesungguhnya sudah menanti. Para pembohong pementasan
professional unggulan setiap daerah sudah membayang-bayang. Surabaya… kami
datang.
Aku :”Kok lama banget sih mobilnya
datang. Sudah hampir tiga jam kan kita nunggunya (kecewaku siang ini)
Teman
I :”Katanya sih masih di Jombang
dan harus nunggu setengah jam lagi. Soalnyamasih jemput peserta lomba dari
cabang lain. Sabar saja deh.” (sahut
temanku)
Guru :”Kalau begitu tidur-tiduran
saja dulu sambil nunggu dan yang belum sholat dhuhur tadi sholat dulu yaa” (saran guru kami, guru yang akan menemani
pertarungan kami besok.)
Teman-teman :”Iya bu…”
Pelatih :”Mobilnya baru datang, sudah di
depan gerbang sekolah.” (kakak pelatih
yang tiba-tiba datang)
Teman
II :”Tadi katanya kurang setengah
jam lagi datangnya?
Pelatih :”Iya..., awalnya begitu, tapi
sekarang kita ke Jombang(penjelasan
kakak pelatihku dengan ramah)
Perjalanan
ke Surabaya yang melelahkan. Dari sekolah tadi kami ke Jombang kota dulu, baru
kemudian ke Surabaya. Sampai di Surabaya, kami istirahat dan sholat di SMAN 16
Surabaya lalu pergi ke tempat pertarungan untuk blocking, persiapan pertarungan
besok di SMKN 5 Surabaya.
Teman
III :”Lagi-lagi mobilnya telat.” (celetuk salah satu temanku)
Aku :”Yaa ditunggu aja, mungkin
kayak tadi, masih nganterin peserta lain.” (kataku
dengan sedikit kecewa juga)
Teman
IV :”Sambil nunggu kita foto-foto
dulu yukkk…!” (kata salah satu temanku
dengan semangatnya)
Teman-teman :”Ayo…!” (Teriakan
teman-temanku yang membuat guru kami yang saat itu juga ada geleng kepala)
Semua
berfoto-foto ria dengan senangnya, karena momen ini memang mungkin tak akan
terulangi lagi, jadi harus diabadikan. Begitu juga denganku yang tak mau
ketinggalan. Tapi tak lama kemudian, karena rasa lelah ini dan kepalaku yang
tadi siang sudah sebenarnya terasa pusing, aku memilih duduk di bebatuan dan
menatap langit bersama seorang guruku yang menemaniku dan teman-teman sejak
tadi.
Guru :”Tak terasa ya mbak, anak-anak
sudah mau kelas Sembilan saja. Padahal rasanya baru kemarin saya lihat masih
pada kelas Tujuh.” (celetuk bu guru
tiba-tiba)
Aku :”Iya bu, cepat sekali
rasanya.” (balasku)
Guru :”Makanya, dari sekarang itu
disiapkan semuanya. Kalu sekarang kita santai-santai, nggak tau-tau Ujian
Nasionalnya sudah besok. Kalau sudah begini, menyesal jadinya, soalnya belum
siap betul. Menyesal itu memang tidak ada yang di depan, menyesal selalu di
belakang, banyak kakak kelas kalian yang mengadu begitu ke ibu, rata-rata dari
mereka selalu menyesal karena jauh-jauh hari sebelum 180 jurang soal itu datang
mereka tidak menyiapkan diri dengan baik.” (nasehat
bu guru kepadaku dan seorang temanku yang ternyata ikut duduk duduk di
bebatuan)
Teman
II :”Iya bu, benar sekali itu.
Penyesalan memang begitu, menjadikan diri kita merasa bersalah jadinya. (pendapat temanku)
Aku :”Lalu biasanya kita seperti
ingin mengulangi kejadian itu lagi dan memperbaikinya. Tapi bagaimana mungkin,
memutar waktu kan mustahil.” (pendapatku
tak mau ketinggalan)
Guru :”Untuk itu, sekarang saja
kalian buat yang terbaik terutama besok. Tunjukkan semua kemampuan kalian,
berperanlah dengan sunggunh-sunggunh, dan banggakanlah sekolah supaya nanti
kalian tidak menyesal, karena kesempatan ini adalah yang terakhir untuk kalian
dan setelah itu kalian harus fokus Ujian Nasional dan kalau bisa banggakan lagi
dengan tak ada penyesalan.
Teman
II :”Iya bu, kami usahakan.”
Hening
sebentar. Petuah guruku tadi membangkitkan semangatku untuk melakukan yang
terbaik besok, dan dengan tak ada lagi penyesalan, seperti yang diharapkan
beliau.
Pelatih :”Mobilnya sudah datang langsung
masuk saja, nanti di sana blocking sebentar lalu kembali ke sini dan istirahat
supaya besok penampilannya baik. Okke…” (kata
kakak pelatih tiba-tiba)
Teman-teman :”Okke kakkk…!” (jawab mereka dengan semangatnya)
Semua
selesai dengan cepat seperti lainnya. Keesokan harinya kami kerahkan semua
kemampuan untuk menjadi pembohong pementasan yang sesungguhnya. Semua
menikmatinya dengan bangga, dan benar piala sudah digenggaman kita, Surabayalah
saksinya. Semua ada berkat tekad awal kami untuk berusaha menunjukkan yang
terbaik kepada mereka. Penyesalan kali ini tak ada lagi, semua menebarkan senyum
termanisnya untuk sebuah pengalaman yang sangat berharga dan tak ada duanya
ini. PSP Jawa Timur 2013.
Sedangkan
aku, kini telah selesai menunjukkan yang terbaik kepada semua sahabatku dan orang
tuaku, bahwa aku dan yang lainnya mampu dan pantas untuk itu. Janji awal kepada
orangtuaku untuk meninggalkan semuanya pun telah aku usahakan. Mulai semester
baru nanti aku ingin fokus ke tujuan awal, yaitu Ujian Nasional dan aku tak
igin lagi ada penyesalan.
TAMAT
TOKOH-TOKOH
·
Aku = Rahmawati Istianing Rahayu
(Rahma)
·
Kak
Yuni = Teman dan kakak baik Rahma
·
Ayah = Ayah Rahma
·
Ibu = Ibu Rahma
·
Guru = Ibu Akrumanik, guru Bahasa
Indonesia di sekolah Rahma
·
Pelatih = Mas Sigit, pelatih di teater
Rahma, Teater Wadtera
·
Teman
I =
Nyanya, teman berteater Rahma
·
Teman
II = Matahari, teman berteater Rahma
·
Teman
III = Diyan, teman berteater
Rahma
·
Teman
IV = Intan, teman berteater
Rahma
· Teman-Teman = Semua teman di Teater Wadtera
|